5Bagaimana pendapatmu supaya kita tidak terlalu berlebihan dalam mengkonsi zat aditif buatan? 10 Jumlah Skor 50 No Soal Kunci Jawaban Skor 1. Hasil identifikasi: • Gula pasir = Pemanis alami • Mentega = Pengemulsi • Asam propionate = Pengawet • Daun pandan = Pewarna alami • Tartrazine = Pewarna buatan • Stroberi = Pewarna alami 10 2.
KelebihanBatik Warna Alam. Banyak sekali kelebihan dari pewarnaan alami pada kain batik di banding dengan pewarna sintetis antara lain : Warna yang dihasilkan batik warna alam lebih rendah intensitasnya sehingga akan menghasilkan batik yang lebih natural,kalem,sejuk kalau dilihat serta unik dan indah. Bahan baku mudah didapat tidak perlu impor
Pembuatanbatik warna alam terbagi tiga jenis yaitu bejana (rebus), fermentasi (pembusukan), dan direct (langsung). Agar bahan-bahan yang kita gunakan bisa menempel kuat di kain, proses pewarnaan harus dibantu dengan apa yang disebut "fiksasi". Jenis bahan fiksasi ada tiga, yaitu : 1. Kapur : untuk menghasilkan warna yang muda atau terang.
RhodaminB adalah salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada industri tekstil dan kertas. Rhodamin B sering digunakan sebagai pewarna makanan karena harganya lebih murah dibanding pewarna makanan yang lain, warna yang dihasilkan lebih menarik daripada pewarna alami. Warna tidak pudar akibat pemanasan (akibat digoreng atau
Warnautama pada sasirangan tersebut di atas dibuat dari zat pewarna alami, yaitu: 1. Kuning: dari temulawak atau kunyit 2. Hijau: dari jahe atau daun pudak lebih muda, dan supaya tahan lama (tidak mudah pudar), bahan pewarna di atas kemudian dicampur dengan rempah-rempah lain seperti garam, jintan, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis, kapur
cara membuat pisang crispy coklat keju lumer. Pewarnaan kain batik dapat dilakukan dengan menggunakan zat warna alami dan zat warna sintetis. Keunggulan zat warna alam antara lain lebih murah, ramah lingkungan, dan menghasilkan warna yang khas. Salah satu zat warna alam yang berasal dari limbah yang dapat dimanfaatkan adalah limbah kulit buah rambutan. Kelemahan dari penggunaan pewarna alam yaitu ketahanan luntur warna dan intesitas ketuaan warna yang relatif kurang baik. Penggunaan zat fiksasi adalah salah alternatif untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaruh penggunaan konsentrasi dan jenis zat fiksasi kapur, tawas dan tunjung pada proses fiksasi terhadap daya tahan luntur dan penodaan warna kain batik katun yang dicelup dengan zwa ekstrak kulit buah rambutan. Bahan yang digunakan adalah kain batik katun yang dicelup dengan ekstrak zwa kulit buah rambutan, kemudian dilanjutkan pengerjaan fiksasi pada larutan kapur dengan variasi konsentrasi 5 g/l, 25 g/l dan 45 g/l pada setiap zat fiksasi sebagai variabel bebas dan variabel terikat yaitu ketahanan luntur dan penodaan warna terhadap pencucian. Hasil uji ketahanan luntur dan penodaan warna menunjukkan bahwa penggunaan zat fiksasi tawas didapatkan nilai ketahanan luntur yang lebih baik dibandingkan dengan zat fiksasi kapur dan tunjung sedangkan pada konsentrasi zat fiksasi yang berbeda menunjukkan bahwa pada penggunaan konsentrasi bahan fiksasi yang lebih tinggi 25% dan 45%, nilai greyscale dan stainingscale akan semakin baik. Kata kunci rambutan, pewarna alam, kain, fiksasi Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 85 STUDI PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ZAT FIKSASI TERHADAP KUALITAS WARNA KAIN BATIK DENGAN PEWARNA ALAM LIMBAH KULIT BUAH RAMBUTAN Nephelium lappaceum Study on Effect of Fixation Substance Types and Concentrations on The Quality of Batik Color with Natural Dyeing from Rambutan Skin Waste Nephelium Lappaceum Rizka Amalia1 dan Iqbal Akhtamimi2 1Dosen Program Studi Teknik Batik Politeknik Pusmanu Pekalongan 2Program Studi D3 Teknik Batik Politeknik Pusmanu Pekalongan Jalan Jenderal Sudirman no. 29 Kota Pekalongan, Indonesia Tanggal Masuk Naskah 8 Agustus 2016 Tanggal Revisi Naskah 15 Desember 2016 Tanggal Disetujui 16 Desember 2016 ABSTRAK Pewarnaan kain batik dapat dilakukan dengan menggunakan zat warna alami ZWA dan zat warna sintetis. Keunggulan zat warna alam antara lain lebih murah, ramah lingkungan, dan menghasilkan warna yang khas. Salah satu zat warna alam yang berasal dari limbah yang dapat dimanfaatkan adalah limbah kulit buah rambutan. Kelemahan dari penggunaan pewarna alam yaitu ketahanan luntur warna dan intensitas ketuaan warna yang relatif kurang zat fiksasi adalah salah alternatif untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaruh penggunaan konsentrasi dan jenis zat fiksasi kapur, tawas dan tunjung pada proses fiksasi terhadap daya tahan luntur dan penodaan warna kain batik katun yang dicelup dengan zwa ekstrak kulit buah rambutan. Bahan yang digunakan adalah kain batik katun yang dicelup dengan ekstrak zwa kulit buah rambutan, kemudian dilanjutkan pengerjaan fiksasi pada larutan kapur dengan variasi konsentrasi 5, 25 dan 45 g/l pada setiap zat fiksasi sebagai variabel bebas dan variabel terikat yaitu ketahanan luntur dan penodaan warna terhadap pencucian. Hasil uji ketahanan luntur dan penodaan warna menunjukkan bahwa penggunaan zat fiksasi tawas didapatkan nilai ketahanan luntur yang lebih baik dibandingkan dengan zat fiksasi kapur dan tunjung sedangkan pada konsentrasi zat fiksasi yang berbeda menunjukkan bahwa pada penggunaan konsentrasi bahan fiksasi yang lebih tinggi 25 dan 45%, nilai greyscale dan staining scale akan semakin baik. Kata kunci rambutan, pewarna alam, kain, fiksasi ABSTRACT Dyeing of batik cotton fabric could be made using natural and synthetic dyes. The advantages of natural dyes are cheap, environmentally friendly, and soft colour produced. One of natural dyes that derived from waste is rambutan’s rind. The lack of using natural dyes are poor of colour fastness. Fixation used as an alternative process to solve that problem. The aim of this study is to determine the effect of the concentration and fixation materials towards colour fastness and colour staining. Batik cotton fabric was dyed by rambutan’s rind extract and followed by fixation process with a variety of fixation materials lime, alum, and lotus and concentration of its solution 5, 25 dan 45 g/l as an independent variable. The independent variables are colour fastness and colour staining to washing. The results show that the using of alum solution as fixation materials provides better colourfastness value than lime and lotus. The higher concentration of fixation solution 25 and 45%, the better colour fastness and colour staining value. Keywords rambutan, natural dyes, cotton, fixation 86 D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 2, Desember 2016, 85-92 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang kaya akan warisan budaya dan sejarah. Salah satu bentuk kekayaan tak benda adalah batik. Batik merupakan kekayaan Indonesia yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam proses pewarnaannya dikenal 2 dua macam zat warna antara lain zat warna sintetis dan zat warna alami. Zat warna alam yaitu zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam dan pada umumnya berasal dari hewan ataupun tumbuhan akar, batang, daun, kulit, bunga, dll. Sedangkan zat warna sintestis adalah zat warna yang dihasilkan melalui reaksi kimia dengan bahan dasar ter arang batu bara atau minyak bumi yang merupakan hasil senyawa turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena, naftalena, dan antrasena Isminingsih, 1978. Pada awal mula kemunculan batik, para pengrajin batik mewarnai batik dengan bahan pewarna alami dari berbagai macam kulit tumbuhan, buah, atau daun Suarsa, Suarya, & Kurniawati, 2011. Keunggulan dari proses pewarnaan alami adalah sifatnya yang ramah lingkungan Yernisa, Gumbira-Sa’id, & Syamsu, 2013. Pada masa ini, proses pewarnaan batik yang banyak digunakan adalah pewarnaan menggunakan pewarna sintetis. Kekurangan proses pewarnaan dengan pewarna sintetis adalah harga zat warna sintetis yang cenderung lebih mahal serta limbah yang dihasilkan tidak ramah lingkungan, karena mengandung logam-logam berat dan azodyes tertentu. Pemanfaatan zat pewarna alami batik menjadi salah satu alternatif pengganti zat warna sintetis. Indonesia yang kaya akan keanekaragaman tanaman, sangat potensial untuk pengembangan zat warna alami. Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan baku pewarna alami dan banyak ditemukan di Indonesia adalah kulit buah rambutan Nephelium lappaceum. Kulit buah rambutan memiliki kandungan flavonoida yang merupakan pigmen alam. Pemanfaatan kulit buah rambutan pada penelitian ini diharapkan mampu mengolah limbah kulit rambutan menjadi zat warna alami batik yang ramah lingkungan, mendapatkan variasi warna baru dan memiliki ketahanan luntur warna kain yang baik terhadap pencucian. Ketahanan luntur warna merupakan unsur yang sangat menentukan mutu suatu pakaian batik atau bahan berwarna. Pada proses batik dibutuhkan suhu air yang panas untuk proses pelunturan/pelorodan lilin batik. Banyak zat warna alam yang dapat mewarnai batik, tetapi dalam proses pelorodan lilin batik, warna tersebut berkurang banyak bahkan luntur. Untuk memperoleh zat warna dengan ketahanan luntur yang baik maka perlu dilakukan proses fiksasi. Fiksasi merupakan proses pencelupan yang bertujuan untuk mengunci zat warna yang masuk ke dalam serat agar warna yang dihasilkan tidak mudah pudar atau luntur. Fiksasi dilakukan dengan menambahkan bahan yang mengandung kompleks logam. Bahan fiksasi yang biasa digunakan antara lain kapur, tawas, dan tunjung. Pewarnaan menggunakan kulit buah rambutan dengan fiksasi kapur, tawas, dan tunjung ini perlu diteliti lebih lanjut secara empiris. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan jenis dan konsentrasi zat fiksasi kapur, tawas, dan tunjung dengan konsentrasi larutan sebesar 5, 25, dan 45% terhadap ketahanan luntur warna kain batik hasil pewarnaan ekstrak kulit buah rambutan ditinjau dari perubahan warna dan penodaan warna. S t u d i P e n g a r u h J e n i s d a n K o n s e n t r a s i Z a t ...,A m a l i a 87 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut 1 mendorong pemanfaatan zat warna yang berasal dari alam; 2 memberikan informasi penggunaan ekstrak kulit buah rambutan sebagai bahan alternatif pewarna alam; 3 upaya pemanfaatan limbah pasar, dan 4 sebagai upaya pengurangan pencemaran lingkungan oleh zat warna sintetis. METODOLOGI Penelitian eksperimen dilakukan dengan mencelupkan kain katun ke dalam ekstrak kulit buah rambutan dilanjutkan dengan fiksasi menggunakan larutan kapur, tawas, dan tunjung. Obyek Penelitian Obyek penelitian meliputi 1 Ekstrak kulit buah rambutan; 2 Kain katun; 3 Zat Fiksasi yang meliputi kapur, tawas, dan tunjung. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis zat fiksasi kapur, tawas, dan tunjung, dan konsentrasi larutan fiksasi 5, 25, dan 45% dari larutan induk 50 g/l. 2. Variabel Terikat Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kualitas warna ketahanan luntur dan penodaan warna dari kain hasil celupan ekstrak kulit buah rambutan. 3. Variabel Kontrol Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah rasio ekstrak kulit buah rambutanair sebesar 16 kg/l, frekuensi pencelupan yaitu tiga kali pencelupan, dan durasi pencelupan selama 10 menit sebanyak 3 kali. Langkah Eksperimen Gambar 1. Langkah eksperimen Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah uji laboratorium ketahanan luntur warna kain batik hasil pewarnaan ekstrak kulit buah rambutan terhadap pencucian ditinjau dari perubahan warna dan penodaan warna.  Kain  Pencucian kain dengan deterjen  Canting Cap  Canting Tulis  1 kg kulit buah rambutan  6 liter air Atau sama dengan 1 6  Ditambah gula dan dipanaskan, hingga menyusut menjadi 2/3 bagian  Pendinginan Ekstrak kulit buah rambutan yang sudah dingin Ekstrak kulit buah rambutan yang sudah dingin Uji Greyscale dan Uji Staining scale 88 D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 2, Desember 2016, 85-92 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Jenis Zat fiksasi terhadap Kualitas Warna Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa perbedaan zat fiksasi yang digunakan menghasilkan arah warna yang berbeda, kapur menghasilkan warna coklat muda pudar, tawas menghasilkan warna coklat muda yang lebih terang dan tajam, dan tunjung menghasilkan warna coklat hitam. Hal ini sesuai dengan penelitian Mukhis 2011 mengenai pewarnaan dengan ekstrak kulit batang jamblang bahwa pada penambahan tawas, serat terwarnai dengan baik dan tidak mempengaruhi warna yang dihasilkan, sedangkan dengan penambahan FeSO4 tunjung dan kalium bikromat yang dapat mengubah warna hasil celup. Tawas Al2SO4 merupakan senyawa kimia yang tidak berwarna sehingga hanya akan menguatkan warna Rosyida & W, 2014. Hasil pengujian pada Tabel 1. ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada kain batik dengan perlakuan fiksasi menggunakan kapur menunjukkan nilai 4 baik untuk konsentrasi zat fiksasi 5 dan 25%, nilai 5 sangat baik untuk konsentrasi zat fiksasi 45%. Sedangkan ketahanan luntur warna dengan menggunakan fiksasi larutan tawas memberikan hasil 4 baik untuk konsentrasi zat fiksasi 5%, nilai 5 sangat baik untuk konsentrasi zat fiksasi 25 dan 45%.Selanjutnya dengan zat fiksasi tunjung nilai ketahanan luntur yang diperoleh sebesar 3 sampai 4 cukup baik untuk konsentrasi zat fiksasi 5, 25, 45%. Dari hasil pengujian terlihat bahwa ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada ketiga jenis zat fiksasi menunjukkan nilai rata-rata 4 baik.Ini membuktikan bahwa kandungan yang terdapat pada kulit buah rambutan dapat digunakan sebagai zat warna alami. Menurut Ratyaningrum & Giari 2005, zat warna mordan alam merupakan zat warna alam yang dalam proses pewarnaannya harus melalui penggabungan dengan kompleks logam, sehingga zat warna ini akan lebih tahan daya lunturnya. Tawas, tunjung dan kapur tohor merupakan kelompok kompleks logam yang berguna untuk pewarna mordan alam. Dalam penelitian ini penggunaan zat fiksasi tawas memberikan nilai ketahanan luntur yang lebih baik dibandingkan dengan zat fiksasi kapur dan tunjung. Hal ini sesuai dengan penelitian Rosyida 2014 yang menguraikan tentang cara memperbaiki ketahanan luntur pada pewarnaan kain menggunakan zat warna daun jati muda yaitu bahwa penggunaan ferro sulfat tunjung untuk fiksasi memberikan nilai ketahanan luntur 3 cukup yang lebih rendah dari fiksasi menggunakan tawas dengan nilai tahan luntur 3-4 cukup baik. Kulit buah rambutan merah mengandung pigmen antosianin yang merupakan sub-tipe senyawa organik dari keluarga lebih stabil dalam suasana asam dibandingkan dalam suasana alkalis ataupun netral Hambali, Mayasari, & F Normansyah, 2014. Oleh karena itu, ketahanan luntur pada penambahan zat fiksasi tawas yang bersifat asam lebih baik jika dibandingkan dengan zat fiksasi kapur basa. Selain itu, ketahanan luntur yang lebih kuat pada kain dengan bahan fiksasi tunjung dan tawas terhadap pencucian berkaitan dengan terjadinya ikatan zat warna yang mampu masuk ke dalam serat kain secara maksimum dan berikatan kuat dengan serat kain Sulasminingsih, 2006. Sebaliknya untuk bahan fiksasi kapur, menurut Atikasari 2005 zat warna tidak mampu masuk ke dalam serat secara maksimum dikarenakan putusnya ikatan antara serat kain dengan auksokrom sehingga daya serap S t u d i P e n g a r u h J e n i s d a n K o n s e n t r a s i Z a t ...,A m a l i a 89 kain hilang dan menyebabkan sisa zat warna hanya melekat pada permukaan serat saja. Hasil pengujian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penodaan warna terhadap pencucian pada kain batik dengan perlakuan fiksasi menggunakan kapur menunjukkan nilai 3 cukup untuk konsentrasi zat fiksasi 5 dan 25%, nilai 3-4 cukup baik untuk konsentrasi zat fiksasi 45%. Sedangkan penodaan warna dengan menggunakan fiksasi larutan tawas memberikan hasil nilai 3 cukup konsentrasi zat fiksasi untuk 5%, nilai 3-4 cukup baik untuk konsentrasi zat fiksasi 25 dan 45%.Selanjutnya dengan zat fiksasi tunjung nilai penodaan yang diperoleh sebesar 3-4 cukup baik untuk konsentrasi zat fiksasi 5 dan 25%, nilai 4 baik untuk konsentrasi zat fiksasi 45%.Penodaan warna terhadap pencucian pada jenis zat fiksasi yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang berarti yaitu nilai rata-rata 3-4 yang artinya cukup ini sesuai dengan penelitian Herlina 2007 yang menyatakan bahwa hasil penguncian warna fiksasi penodaan warna minimal cukup dengan nilai Staining scale sebesar ini diduga karena molekul zat warna masih terikat kuat di dalam serat kain. Pengaruh Konsentrasi Zat Fiksasi Terhadap Kualitas Warna Tujuan dilakukannya fiksasi yaitu untuk mengunci zat warna alam golongan mordan serta berfungsi memberikan efek warna arah warna yang berbeda-beda sesuai dengan zat fiksasi yang digunakan Sardjono, 2010. Hasil pengujian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada kain batik dengan perlakuan fiksasi menggunakan konsentrasi zat fiksasi 5% diperoleh nilai 4 baik untuk kapur dan tawas, nilai 3-4 cukup baik untuk konsentrasi zat fiksasi tunjung. Sedangkan ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada konsentrasi zat fiksasi 25% menunjukkan nilai 4 baik untuk kapur, nilai 5 sangat baik untuk tawas dan nilai 3-4 cukup baik untuk tunjung. Selanjutnya dengan konsentrasi zat fiksasi 45% nilai ketahanan luntur yang diperoleh sebesar 4-5 baik untuk kapur, nilai 5 sangat baik untuk tawas, dan nilai 3-4 cukup baik untuk tunjung. Dari hasil pengujian terlihat bahwa ketahanan luntur warna terhadap pencucian dengan perbedaan konsentrasi zat fiksasi menunjukkan nilai rata-rata 4 baik. Hasil uji ini menunjukan bahwa pada penggunaan konsentrasi bahan fiksasi 45%, nilai greyscale akan semakin baik. Hal ini sesuai dengan penelitian Suheryanto 2010 mengenai pewarnaan dengan ekstrak daun mangga bahwa kain batik katun yang difiksasi dengan larutan kapur 60 g/l menghasilkan ketuaan warna lebih optimal atau tua, bila dibandingkan dengan kain batik katun yang difiksasi dengan larutan kapur 40 dan 50 g/l. Tabel 1. Hasil ketahanan luntur warna kain batik dengan zat fiksasi kapur, tawas, dan tunjung pada berbagai konsentrasi Keterangan Nilai 1 = buruk, 1-2 = buruk, 2 = kurang, 2-3 = kurang baik, 3 = cukup, = cukup baik, 4 = baik, 4-5 = baik, 5 = sangat baik Hasil pengujian yang dituangkan pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa penodaan warna terhadap pencucian pada kain batik 90 D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 2, Desember 2016, 85-92 Gambar 2. Kain hasil pelorodan dengan fiksasi larutan kapur Gambar 3. Kain hasil pelorodan dengan fiksasi larutan tawas Gambar 4. Kain hasil pelorodan dengan fiksasi larutan tunjung dengan perlakuan fiksasi menggunakan konsentrasi zat fiksasi 5% diperoleh nilai 3 cukup untuk kapur dan tawas, nilai 3-4 cukup baik untuk tunjung. Sedangkan hasil penodaan warna terhadap pencucian pada konsentrasi zat fiksasi 25% menunjukkan nilai 3 cukup untuk kapur, nilai 3-4 cukup baik untuk tawas dan tunjung. Selanjutnya dengan konsentrasi zat fiksasi 45% nilai penodaan warna yang diperoleh sebesar 3-4 cukup baik untuk kapur dan tawas, dan nilai 4 baik untuk tunjung. Hasil uji ini menunjukan bahwa pada penggunaan konsentrasi bahan fiksasi 45%, nilai staining scale semakin baik. Tabel 2. Hasil penodaan warna kain batik dengan zat fiksasi kapur, tawas, dan tunjung pada berbagai konsentrasi Keterangan Nilai 1 = buruk, 1-2 = buruk, 2 = kurang, 2-3 = kurang baik, 3 = cukup, 3-4 = cukup baik, 4 = baik, 4-5 = baik, 5 = sangat baik. S t u d i P e n g a r u h J e n i s d a n K o n s e n t r a s i Z a t ...,A m a l i a 91 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil uji ketahanan luntur dan penodaan warna menunjukkan bahwa penggunaan zat fiksasi tawas memberikan nilai ketahanan luntur yang lebih baik dibandingkan dengan zat fiksasi kapur dan tunjung sedangkan pada konsentrasi zat fiksasi yang berbeda menunjukkan bahwa pada penggunaan konsentrasi bahan fiksasi yang lebih tinggi 25% dan 45%, nilai greyscale dan stainingscale akan semakin baik. Saran Perlu penelitian lebih lanjut mengenai ketahanan luntur warna terhadap penggosokan dan keringat terhadap kain katun hasil pewarnaan menggunakan zat warna dari ekstrak kulit buah rambutan. DAFTAR PUSTAKA Atikasari, A. 2005. Kualitas Tahan Luntur Warna Batik Cap di Griya Batik Larissa Pekalongan. Skripsi. Program Studi PKK Konsentrasi Tata Busana S-1 Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi Fakultas Teknik UNNES, Semarang. Hambali, M., Mayasari, F., & F Normansyah. 2014. Ekstraksi Antosianin dari Ubi Jalar dengan Variasi Konsentrasi Solven, dan Lama Waktu Ekstraksi. Jurnal Teknik Kimia, 20 2, 25–35. Herlina, S. 2007. Fiksasi Bahan Alami Buah Markisa dan Jeruk Nipis dalam Proses Pewarnaan Batik dengan Zat Warna Indigosol. Yogyakarta Seni dan Budaya Yogyakarta. Isminingsih. 1978. Pengantar Kimia Zat Warna. Bandung Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung. Mukhis. 2011. Ekstraksi Zat Warna Alami dari Kulit Batang Jamblang Syzygium cumini sebagai Bahan Dasar Pewarna Tekstil. Jurnal Biologi Edukasi, 3 11, 7. Ratyaningrum, F., & Giari, N. 2005. Kriya Tekstil. Surabaya Unesa University Press. Rosyida, A., & W, A. 2014. Pemanfaatan Daun Jati Muda untuk Pewarnaan Kain Kapas pada Suhu Kamar. Jurnal Arena Tekstil, 29 2, 115–124. Sardjono. 2010. Teknologi Pewarnaan Batik Zat Warna Alam. Yogyakarta Balai Besar Kerajinan dan Batik. Suarsa, I. W., Suarya, P., & Kurniawati, I. 2011. Optimasi Jenis Pelarut dalam Ekstraksi Zat Warna Alam dari Batang Pisang Kepok Musa paradiasiaca L. Cv Kepok dan Batang Pisang Susu Musa Paradiasiaca L.. Jurnal Kimia, 5 1, 72–80. Suheryanto, D. 2010. Optimalisasi Celupan Ekstrak Daun Mangga pada Kain Batik Katun dengan Iring Kapur. Makalah disajikan dalam Seminar Rekayasa Kimia dan Proses Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Sulasminingsih. 2006. Studi Komparasi Kualitas Kain Kapas Pada Pencelupan Ekstrak Kulit Kayu Pohon Mahoni Dengan Mordan Tawas Dan Garam Diazo. Skripsi. Fakultas Teknik UNNES. Yernisa, Gumbira-Sa’id, E., & Syamsu, K. 2013. Aplikasi Pewarna Bubuk Alami dari Ekstrak Biji Pinang Areca catechu L. pada Pewarnaan Sabun Transparan. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 23 3, 190–198. 92 D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k , Vol. 33, No. 2, Desember 2016, 85-92 ... ZWS merupakan zat warna yang berasal dari reaksi zat-zat kimia sedangkan ZWA berasal dari bahan alam pada umumnya berasal dari tumbuhan akar, batang, daun, kulit, bunga, dll. Keunggulan dari proses pewarnaan menggunakan ZWA dibanding dengan ZWS adalah sifatnya yang ramah lingkungan dan menghasilkan warna yg khas [10], [11]. Kelemahan dari penggunaan pewarna alami yaitu ketahanan luntur warna dan intensitas ketuaan warna yang relatif kurang baik, sehingga memerlukan bahan tambahan untuk mengikat warna supaya meningkatkan ketahanan terhadap luntur [11], [12]. ...... Keunggulan dari proses pewarnaan menggunakan ZWA dibanding dengan ZWS adalah sifatnya yang ramah lingkungan dan menghasilkan warna yg khas [10], [11]. Kelemahan dari penggunaan pewarna alami yaitu ketahanan luntur warna dan intensitas ketuaan warna yang relatif kurang baik, sehingga memerlukan bahan tambahan untuk mengikat warna supaya meningkatkan ketahanan terhadap luntur [11], [12]. Cara untuk meningkatkan ketahanan luntur warna adalah dengan menggunakan proses fiksasi. ...... Cara untuk meningkatkan ketahanan luntur warna adalah dengan menggunakan proses fiksasi. Fiksasi merupakan proses pencelupan yang bertujuan untuk memperkuat warna dan merubah zat warna alami sesuai dengan jenis logam yang mengikatnya serta mengunci zat warna yang telah masuk ke dalam serat agar warna yang dihasilkan tidak mudah pudar atau luntur [5], [11]. ZWA juga masih menimbulkan permasalahan lingkungan karena dalam proses fiksasi masih menggunakan zat kimia yang mengandung garam logam berat. ...Batik merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang sudah ada sejak dulu. Dalam proses pewarnaan batik dikenal zat warna sintetis ZWS dan zat warna alamI ZWA. Keunggulan dari proses pewarnaan menggunakan ZWA dibanding dengan ZWS adalah sifatnya yang ramah lingkungan. Namun, pada proses pewarnaan batik menggunakan pewarna ZWA masih menimbulkan permasalahan lingkungan karena penggunaan zat kimia yang mengandung garam logam berat dalam proses fiksasi. Untuk mengatasi permasalahan lingkungan tersebut maka pada penelitian ini dilakukan proses fiksasi menggunakan iradiasi berkas elektron. Hasil penelitian menunjukkan proses fiksasi menggunakan iradiasi berkas elektron dapat digunakan sebagai alternatif dalam rangkaian proses pewarnaan batik. Hasil uji berstandar SNI dari ketahanan luntur warna terhadap sinar, pencucian dan gosokan menunjukkan nilai yang baik untuk greyscale dan staining scale 4 dan 4-5 pada kain batik katun dengan campuran pewarna tingi dan Polietilen Glikol PEG dengan waktu iradiasi 60 detik.... Kulit buah ini memiliki kandungan flavonoida yang merupakan pigmen yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami tekstil Prasetio, 2014. Hasil uji ketahanan luntur warna dari limbah kulit rambutan menunjukkan bahwa penggunaan zat fiksasi tawas memberikan nilai ketahanan luntur yang lebih baik dibandingkan dengan zat fiksasi kapur dan tunjung sedangkan pada konsentrasi zat fiksasi yang berbeda menunjukkan bahwa pada penggunaan konsentrasi bahan fiksasi yang lebih tinggi 25% dan 45%, nilai greyscale dan stainingscale akan semakin baik Amalia & Akhtamimi, 2016. ...... Akhtamimi, 2016. Bahan pewarna alami dapat diperoleh dari pengolahan bahanbahan alam di daerah sekitar pengrajin batik, tidak bergantung impor seperti bahan pewarna sintetis. ...... Pada proses produksi batik terdapat proses pelunturan/pelodoran lilin yang membutuhkan suhu air tinggi. Suhu yang tinggi ini menyebabkan zat warna berkurang banyak bahkan luntur Amalia & Iqbal,[4]. ...Adela Dianingrum HanafiSiti Fatimah Agus HaerudinBatik merupakam warisan budaya dunia yang harus dilestarikan. Hal ini telah ditetapkan oleh UNESCO. Papaya Carica papaya L. adalah tanaman yang dapat dimanfaatkan dari buah hingga daunnya. Daun papaya memiliki pigmen hijau atau yang dapat digunakan sebagai zat warna alami pada kain batik. Zat warna alami memiliki kelemahan yaitu warna tidak pekat dan ketahanan luntur warna, namun hal itu dapat diatasi dengan fiksasi atau mordanting. Pada penelitian ini menggunakan metode eksperimen variasi proses mordanting pra-mordanting, meta-mordanting, post-mordanting, dan tanpa mordanting dengan menggunakan mordan tunjung sebanyak 75 gram pada pewarnaan kain batik dengan menggunakan zat warna alami daun papaya dimana proses mordanting ternyata sangat berpengaruh terhadap warna yang dihasilkan. Hasil penelitian yang paling baik diperoleh pada metode post-mordanting dengan hasil L* 59,02, a* 14,23, dan b* 30,76 terhadap uji L*,a*,b* dengan menggunakan website encycolorpedia diperoleh hasil warna oranye dengan kode warna B68459 dan uji tahan luntur warna terhadap gosok kering dan gosok basah diperoleh hasil 4-5 Baik.... The compounds in question are tunjung FeSo4, alum Al2SO43 and lime CaOH2. Tunjung, or in scientific language Fero sulfate FeSO4 is a compound of iron II sulfate in the form of a crystalline powder and blue-green in color, the addition of tunjung in the fixation process will affect the color of the dyed results Amalia & Akhtamimi, 2016. Al2SO43 alum is a colorless and crystalline aluminum sulfate compound, alum has alkaline-base properties so that the fixation process with alum can strengthen the color of the yarn and compare it to other fixators. ... Danang Habib PratamaLaily Rochmawati LSigit SujatmikaThis study aimed to identify the science concepts in the dyeing process of Ulos woven fabrics that will be used as a science learning resource for junior high schools. An ethnoscience study by exploring the original science contained in a community group based on scientific science. This study used a qualitative method with an ethnographic approach through the process of data reduction, data presentation, conclusion drawing, and verification. The location of research was carried out at the Ulos Batak By Gallery at Manjunjung Hutabarat, Jl. Major General. Y Samosir No, 76, Partalijulu Village, Tarutung District, North Tapanuli Regency, North Sumatra, Indonesia. The instruments used were observation sheets, interview guidelines, and questionnaires. Collecting data through participatory observation, in-depth interviews, documentation, and questionnaires. To test the validity of the data using triangulation techniques source, technique, and time. Based on the results of the study, it is known that the natural dyeing process in the manufacture of Ulos fabric includes the preparation of materials plants, the plant processing stage, the dissolving stage of natural dyes, the dyeing stage, the drying stage, the fixation stage, the washing stage, and the final drying stage. The science concepts in the curriculum 2013 are in accordance with the process of coloring Ulos cloth, and namely plant classification, solid pressure, heat transfer, physical changes, energy in living systems, separation of mixtures, boiling points, temperatures and their changes, chemical changes, elements, compounds, mixtures. It can be concluded that the manufacture of Ulos woven fabric in this study is a learning resource that can integrate learning materials in various fields of science fabrics physics, biology.... Atika, et al.,2016 Ekstrak gambir pada batik Sutra Dapat dilanjutkan melalui berbagai metode pemisahan dan pelarut organik Hadaf,et al.,2016 Motif dan Pewarnaan Batik Tulis Penelitian dapat dikembangkan dengan memvariasikan sumber sumber alam lain. Amalia, et al.,2016 Pewarna alam limbah kulit rambutan Nephelium Lappaceum ... Rumanintya Lisaria PutriRina Armeniza AzizDalam kondisi masa Pandemi COVID 19 saat ini , sebenarnya banyak peluang yang bisa ditangkap, untuk memunculkan suatu ide yang bisa dikembangkan menjadi bisnis bermunculan nya kedai kedai kopi ala anak muda, pasti banyak ampas kopi yang pemikiran dan pengamatan mengenai ampas kopi ,muncul suatu ide untuk memanfaatkan ampas kopi tersebut , menjadi sebuah pewarnaan untuk kain Design adalah Eksperimen yang dilakukan, melalui tahapan pencampuran ampas kopi dengan bahan pengental , sehingga menjadikan ampas kopi berbentuk pasta.... Kulit buah rambutan merah mengandung pigmen antosianin yang merupakan sub-tipe senyawa organik dari keluarga flavonoid. Antosianin lebih stabil dalam suasana asam dibandingkan dalam suasana alkalis ataupun ketahanan luntur pada penambahan zat fiksasi tawas yang bersifat asam lebih baik jika dibandingkan dengan zat fiksasi kapur basa Amalia dan Akhtamimi, 2016. ...RA. Ataswarin OetopoCaecilia Tridjata SuprabanindyaRirin DesprilianiFariz Al HazmiKulit Rambutan merupakan salah satu limbah organik yang belum dimanfaatkan secara optimal. Dalam permasalahan lingkungan, sampah organik juga menjadi permasalahan saat ini. Meskipun sampah organik merupakan limbah yang dapat terurai, akan tetapi limbah organik juga perlu dikelola agar penumpukannya dapat terkendali dan tidak mencemari lingkungan. Tujuan Penlitian yaitu untuk menganalisis hasil formula zat warna alami yang dihasilkan dari limbah kulit rambutan terhadap penerapannya pada kain dengan teknik Shibori Tie dye dan Batik. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan mengeksplorasi warna yang dihasilkan oleh larutan limbah organik kulit rambutan pada karya tekstil, dengan melakukan uji coba tehadap bahan kain katun dan berbagai larutan fiksasi yang digunakan, seperti larutan tawas KAISO4212H2O, kapur CaOH2 dan Tunjung FeSO4. Uji coba juga dilakukan terhadap teknik dalam membuat motif, seperti shibori tie dye dan batik. Hasil menunjukan bahwa limbah kulit rambutan menghasilkan larutan yang dapat digunanan sebagai pewarna alami dan dapat diaplikasikan kedalam beragam teknik shibori tie dye dan batik dengan fiksasi tawas yang memiliki nilai kualitas lebih baik dibanding menggunakan fiksasi tunjung dan kapur, sehingga dapat menjadi sebuah media dalam berkreasi seni khususnya pada bidang tekstil.... Instead of sustainable concerned, this is an appropriate approach to remain, reviltalize and disseminate traditional knowledge of natural dyeing on textiles. Figure 2 shows the general ideas of batik making procedures with natural dyeing implementations as it emerging traditional batik process [29,40] and sustainable batik process model [60,68,69]. Batik and dyeing process start with the fabric treatment a. ... Nurul Syahida Mat HussinAhmad Rasdan IsmailSarah Wahida HasbullahNawwal Abdul KadirSustainable generally refers to maintain, preserve and balance the ecological by avoiding depletion of natural resources. Sustainable puts the construct plan involved in economic growth, social progress and environmental protection which also imply in heritage preservation. However, the imbalance pillar towards the demand of the batik deteriorate the ecology despites of increase in demanding this prominent artefact. The methodology of this study used content reviewing by referring the previous study, texts and discussions. This paper aim is to bring up the issues on the use of synthetic dyes in batik dyeing that can harm the people and environment, but it initiatively can be overcome by using sustainable strategies – cradle-to-cradle. Therefore, the introduction to the use of natural dyes for batik dyeing initiatives may lead to the awareness and knowledge about eco-friendly dyeing and exposure to local wisdom dyeing SusantiNyimas MuazzomiIndryani IndryaniAulia SanovaBatik merupakan salah satu warisan budaya leluhur Indonesia yang harus dipertahankan karena memiliki karakter unsur budaya berbasis local wisdom yang sarat akan nilai-nilai sosial dan spiritual suatu daerah. Pada dahulu kala teknik pengerjaan batik masih bersifat sangat tradisional dengan menggunakan motif lukis dan pewarna alam. Salah satu cara menjaga kelestarian keeksistensian batik agar tidak punah tergerus oleh zaman modernisasi adalah dengan melalui media pendidikan dengan cara memperkenalkan dan memasyarakatkan batik kepada generasi emas sejak dini, sehingga perlu dihidupkan kembali kegiatan membelajarkan budaya membatik. Hal ini bisa diawali dengan dengan memberikan sebentuk pelatihan dan pendampingan bagi guru-guru PAUD yang ada di Kota Jambi. Capaian soft skill dari hasil kegaitan ini adalah terciptanya suatu kreativitas peserta dalam melukis dan memadukan warna batik, memunculkan kecakapan hidup life skill dalam seni perbatikan, sikap kesadaran peduli dan cinta lingkungan, menambah pengalaman yang berwawasan lingkungan social experience dan tentunya tercipta nya sebuah karya hasil karya para peserta berupa produk batik yang ramah lingkungan karena menggunakan pewarna alam. Sementara untuk capaian jangka panjang berupa publikasi jurnal dan bahan ajar cetak modul tentang Eco-Batik. Karya produk yang dihasilkan berupa batik tulis dengan motif flora dan fauna sesuai tema karakteristik anak TK/PAUD yang ramah lingkungan Eco-Batik. Pada proses pewarnaannya menggunakan pewarna alam yang berasal dari ekstrak kulit jengkol, buah naga, daun inay, daun suji dan kunyit. Begitu juga pada proses penguncian warna fiksasi, agar warna kain terlihat tua maka ditambahkan serbuk gambir, air kapur dan village woven fabric is one of Lombok’s superior woven fabrics. The process of producing this woven fabric is traditional by using yarn spun from cotton. The purpose of this study is to obtain the optimal strength of cotton yarn using natural dyes. Mordan stage and fixation using alum solution. The coloring stage uses teak leaves, ketapang leaves, and banten skin. All three ingredients are dissolved in water with concentrations 110, 18, and 15. In the mordan stage, 8 grams of alum is dissolved in 1 liter of water. While at the fixation stage, 50 grams of alum is dissolved in 1 liter of water. Teak leaves produce a dark brown color, ketapang leaves produce turmeric yellow color, and banten skin produces a brick red color. After going through the coloring process, the yarn is tested using Tensilon RTG. The result show that the yarn strength increase during the coloring process. In addition, differences in the concentration of the solution also affect the strength of the yarn produced. Solution with a concentration ratio of 1 8 produces optimal tensile strength of cN/dtex on teak leaves, cN/dtex on ketapang leaves, and cN/dtex on banten of natural dye powder from seeds of Areca catechu L. in transparent soap was studied. The objective of this study was to determine the effect of areca seeds extracted powder and the type of vegetable oil to the characteristics of transparent soap. Areca seed extracted powder being used in this study were areca extracted seed powder without a binder and areca seed extracted powder with a binder arabic gum 2% w/w. Two types of vegetable oil for making transparent soap were used in this study namely coconut oil and mixed of coconut oil and palm oil 155 w/w. As a control, there were transparent soaps made without addition of areca seeds powder. Transparent soap from all combinations of treatment had colour range yellow red. Mixed of coconut oil and palm oil 155 w/w gave higher foam stability and lower hardness than coconut oil but did not give significant effect on moisture content and pH value. Type of areca seeds extracted powder had no significant difference in moisture content, hardness and pH value but had significant effect on foam stability of transparent soap. The presence of arabic gum in areca seeds extracted powder enhanced foam stability of transparent soap from coconut oil and reduced color change in transparent soap after six months of Celupan Ekstrak Daun Mangga pada Kain Batik Katun dengan Iring Kapur. Makalah disajikan dalam Seminar Rekayasa Kimia dan Proses Fakultas Teknik Universitas DiponegoroD SuheryantoSuheryanto, D. 2010. Optimalisasi Celupan Ekstrak Daun Mangga pada Kain Batik Katun dengan Iring Kapur. Makalah disajikan dalam Seminar Rekayasa Kimia dan Proses Fakultas Teknik Universitas Jenis Pelarut dalam Ekstraksi Zat Warna Alam dari Batang Pisang Kepok Musa paradiasiaca L. Cv Kepok dan Batang Pisang SusuI W SuarsaP SuaryaI KurniawatiSuarsa, I. W., Suarya, P., & Kurniawati, I. 2011. Optimasi Jenis Pelarut dalam Ekstraksi Zat Warna Alam dari Batang Pisang Kepok Musa paradiasiaca L. Cv Kepok dan Batang Pisang Susu Musa Paradiasiaca L.. Jurnal Kimia, 5 1, Pewarnaan Batik Zat Warna Alam. Yogyakarta Balai Besar Kerajinan dan BatikSardjonoSardjono. 2010. Teknologi Pewarnaan Batik Zat Warna Alam. Yogyakarta Balai Besar Kerajinan dan Komparasi Kualitas Kain Kapas Pada Pencelupan Ekstrak Kulit Kayu Pohon Mahoni Dengan Mordan Tawas Dan Garam DiazoSulasminingsihSulasminingsih. 2006. Studi Komparasi Kualitas Kain Kapas Pada Pencelupan Ekstrak Kulit Kayu Pohon Mahoni Dengan Mordan Tawas Dan Garam Diazo. Skripsi. Fakultas Teknik Tahan Luntur Warna Batik Cap di Griya Batik Larissa PekalonganA AtikasariAtikasari, A. 2005. Kualitas Tahan Luntur Warna Batik Cap di Griya Batik Larissa Pekalongan. Skripsi. Program Studi PKK Konsentrasi Tata Busana S-1 Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi Fakultas Teknik UNNES, Antosianin dari Ubi Jalar dengan Variasi Konsentrasi Solven, dan Lama Waktu EkstraksiM HambaliF MayasariNormansyahHambali, M., Mayasari, F., & F Normansyah. 2014. Ekstraksi Antosianin dari Ubi Jalar dengan Variasi Konsentrasi Solven, dan Lama Waktu Ekstraksi. Jurnal Teknik Kimia, 20 2, Bahan Alami Buah Markisa dan Jeruk Nipis dalam Proses Pewarnaan Batik dengan Zat Warna IndigosolS HerlinaHerlina, S. 2007. Fiksasi Bahan Alami Buah Markisa dan Jeruk Nipis dalam Proses Pewarnaan Batik dengan Zat Warna Indigosol. Yogyakarta Seni dan Budaya Kimia Zat WarnaIsminingsihIsminingsih. 1978. Pengantar Kimia Zat Warna. Bandung Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung.
Kimia Zat Warna / Chemical Dyes 0621 Macam-macam Zat Warna Kimia Zat warna Tekstil Dalam kerajinan tekstil, ada beberapa keteknikan yang menggunakan bahan pewarna antara lain teknik batik, cetak saring, tenun, tapestri, renda, dan rajut. Zat warna tekstil dapat digolongkan menurut cara perolehannya yaitu zat warna alam dan zat warna sintetis. Sebelum kita mengenal zat warna terlebih dahulu kita mengenal warna menurut spektrum atau panjang gelombang yang terserap. 1. Pengertian Warna Daerah tampak dari spektrum terdiri dari radiasi elektromagnetik yang terletak pada panjang gelombang antara 4000 Angstrum 400 nm sampai 8000 Angstrum 800 nm dimana 1 Angstrum = 10-8 cm = 0,1 nano meter. Sedangkan radiasi penyinaran di bawah 4000 Angstrum tidak akan tampak karena terletak pada daerah ultra violet, dan di atas 8000 Angstrum adalah daerah infra merah juga tidak tampak oleh mata. Radiasi yang tersebar secara merata antara 4000 Å- 8000 Åakan tampak sebagai cahaya putih, yang akan terurai dalam warna-warna spektrum bias dengan adanya penyaringan prisma. Warna-warna spektrum berturut-turut adalah Violet, Indigo, Biru, Hijau, Kuning, Jingga dan Merah. Untuk lebih jelasnya lihat tabel spektrum di bawah Panjang gelombang ? lamda Warna terserap Warna tampak 4000 – 4350 4350 – 4800 4800 – 4900 4900 – 5000 5000 – 5600 5600 – 5800 5800 – 5950 5950 – 6050 6050 – 7500 Violet Biru Hijau – Biru Biru– Hijau Hijau Kuning – Hijau Kuning Jingga Merah Kuning – Hijau Kuning Jingga Merah Ungu Violet Biru Hijau – Biru Biru - hijau 2- Percampuran warna Hampir semua warna yang terdapat dalam bahan tekstil dapat diperoleh dengan cara mencampurkan tiga jenis zat warna. Untuk dapat memahami hal ini diperlukan pengertian tentang sifat-sifat warna primer dan jenis-jenis penyempurnaan. Spektrum yang tampak dalam pelangi mengandung beraneka warna dari Merah, jingga, kuning, hujau, biru dan lembayung. Warnawarna tersebut diperoleh dengan cara melewatkan cahaya putih melalui prisma. Sebaliknya warna spektrum tersebut mudah digabungkan lagi dengan prisma menjadi cahaya putih. Tetapi cahaya putih dapat pula diperoleh dengan cara menggabungkan tiga jenis cahaya yakni merah, hijau dan biru. Ketiga cahaya tersebut disebut cahaya primer. Hal ini dapat dilihat pada diagram komposisi cahaya primer ideal. Pencampuran cahaya dapat menghasilkan warna putih disebut proses pencampuran warna secara aditif. Dalam percobaan dengan menggunakan filter-filter warna yang sesuai, kemudian mencampur ketiga warna tersebut pada layar putih. Dengan percobaan tersebut akan terlihat bahwa pada dua pasang cahaya primer akan menghasilkan warna-warna sekunder seperti berikut Merah + Biru = Magenta Merah + Hijau = Kuning Biru + Hijau = Sian Sedangkan pada pencampuran warna subtraktif akan terjadi pada peristiwa pencelupan dan printing. Hasil yang diperoleh berbeda dengan pencampuran warna secara adaptif. Pencampuran warna secara subtraktif yaitu digunakan warna – warna sekunder. Dapat dilihat pada gambar dan tabel berikut. 3- Zat warna alam natural dyes Zat warna alam natural dyes adalah zat warna yang diperoleh dari alam/ tumbuh-tumbuhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Agar zat pewarna alam tidak pudar dan dapat menempel dengan baik, proses pewarnaannya didahului dengan mordanting yaitu memasukkan unsur logam ke dalam serat Tawas/Al. Bahan pewarna alam yang bisa digunakan untuk tekstil dapat diambil pada tumbuhan bagian Daun, Buah, Kuli kayu, kayu atau bunga. Tumbuhan penghasil warna alam selain tersebut di atas, sampai saat ini sudah ditemukan sekitar 150 jenis tumbuhan yang diteliti oleh Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta. Tanaman lain diantaranya Morinda citrifolia Jawa pace, mengkudu, Hawai noni, menghasilkan warna merah dari kulit akar, warna soga dihasilkan oleh tiga jenis tanaman yang digabungkan atau diekstrak bersama-sama antara Ceriops condolleana Jawa tingi, Pelthopherum pterocarpum Jawa jambal dan Cudrania javanensis Jawa tegeran dicampur menjadi satu, dengan perbandingan 421 yang berasal dari kayu atau kulit kayunya. 4- Zat warna sintetis synthetic dyes Zat warna sintetis synthetic dyes atau zat wana kimia mudah diperoleh, stabil dan praktis pemakaiannya. Zat Warna sintetis dalam tekstil merupakan turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena, toluena, naftalena dan antrasena diperoleh dari ter arang batubara coal, tar, dyestuff yang merupakan cairan kental berwarna hitam dengan berat jenis 1,03 - 1,30 dan terdiri dari despersi karbon dalam minyak. Minyak tersebut tersusun dari beberapa jenis senyawa dari bentuk yang paling sederhana misalnya benzena C6H6 sampai bentuk yang rumit mialnya krisena C18H12 dan pisena C22Hn. Macam-macam zat warna sintetis antara lain 1- Zat warna Direk 2- Zat warna Asam 3- Zat warna Basa 4- Zat warna Napthol 5- Zat warna Belerang 6- Zat warna Pigmen 7- Zat warna Dispersi 8- Zat warna Bejana 9- Zat warna Bejana larut Indigosol 10- Zat warna Reaktif Tidak semua zat warna sintetis bisa dipakai untuk pewarnaan bahan kerajinan, karena ada zat warna yang prosesnya memerlukan perlakuan khusus, sehingga hanya bisa dipakai pada skala industri. Tetapi zat warna sintetis yang banyak dipakai untuk pewarnaan bahan kerajinan.
JAKARTA, - Memiliki pakaian dari pewarna alam memang ramah lingkungan. Namun, perawatan pakaian dengan pewarna alam tidaklah mudah. Jika salah merawat, justru warna pada kain akan luntur atau bahkan hilang sama sekali. Founder Halomasin - yang bergerak mengembangkan kain Sasirangan dengan pewarna alam, Santika Syaravina, memberikan tips perawatan agar warna kain semacam itu tetap saat pertama kali mencuci, rendamlah air dengan air garam, bilas dan keringkan. Kedua, pastikan untuk tidak mencuci dengan deterjen. Cukup gunakan sabun cair atau lerak untuk pakaian halus. Baca juga Batik dengan Pewarna Alami Indonesia Memesona Publik Swedia dan LatviaKetiga, hindari penggunaan mesin cuci. "Cukup pakai tangan, karena pakai mesin kan muter, nanti saat dikeringkan pigmen-nya keangkat," kata Santika kepada Jakarta, Sabtu 26/5/2018. DIRGA CAHYA Kain Sasirangan dengan pewarna alam dari Halomasin Keempat, dilarang mencuci dry clean karena justru bisa merusak warna. Kelima, setelah dicuci, hindari terkena matahari langsung. Cari tempat di bawah atap dengan udara yang mengalir masuk keluar. Keenam, saat menyetrika hindari terkena panas tinggi.
PROSES MORDANTING Kain sebelum dibatik jika ingin diproses dengan Zat Warna Alam sebaiknya diproses mordan terlebih dahulu. Hal ini dlakukan agar zat warna alam yang menempel pada kain tidak cepat pudar. Resep mordanting untuk 500 gram kain katun. Kain direndam dalam larutan 2 gram/liter air dan TRO selama semalam. Cuci bersih. Rebus dalam air yang mengandung 100 gram tawas dalam soda abu 30 gram selama 1 jam. Keringkan dan siap di warna alam. CARA PEWARNAAN DENGAN ZWA INDIGO Kain yang sudah dibasahi dicelupkan pada zat pewarna bersuhu dingin, Kemudian dijemur di tempat yang teduh dan dalam keadaaan setengah kering, celup berulang-ulang hingga sesuai ketuaan warna yang dikehendaki minimal 5 x. Setelah kering , kain tersebut di fiksasi dengan larutan air cuka + jeruk nipis. Cuci bersih dan jemur di tempat sejuk dan tidak terpapar sinar matahari. PEMBUATAN LARUTAN FIKSASI Pada akhir proses pewarnaan alam, ikatan antara zat warna alam yang sudah terikat oleh serat masih perlu diperkuat lagi dengan garam logam seperti tawas K SO42, kapur Ca OH2 dan tunjung FeSO4. Selain memperkuat ikatan, garam logam juga berfungsi untuk mengubah arah warna ZWA, sesuai jenis garam logam yang mengikatnya. Pada kebanyakan warna alam, tawas akan memberikan arah warna yang sesuai dengan warna aslinya, sedangkan tunjung akan memberikan arah warna lebih gelap/tua. Pada pewarnaan dengan indigo, fiksasi yang digunakan ialah dengan larutan air cuka 0,5 ml/l dengan ditambahkan 1 buah jeruk nipis/ 20 l. Info WA. 081328628227
Skip to content Beranda / Gaya Hidup / Kulit dan Kecantikan / 5 Cara Agar Rambut yang Anda Warnai Tidak Pudar 5 Cara Agar Rambut yang Anda Warnai Tidak Pudar Sesekali, mewarnai rambut bisa dipilih agar penampilan Anda tidak membosankan. Apakah mau mewarnainya dengan warna merah, biru, kuning, bebas. Tetapi, kadang, yang menyebalkan dari itu adalah, warna rambut kerap tidak tahan lama, alias mudah sekali pudar. Anda pasti perlu tips untuk itu, kan? Kami akan dari Discover Good Nutrition, ada 5 tips yang dapat Anda lakukan untuk menjaga cat rambut yang diaplikasikan agar tidak mudah pudar. Apa sajakah? Berikut ulasannya! 1. Hindari Keramas Setelah Mewarnai Rambut Setelah mewarnai rambut, untuk menjaga warnanya tetap awet, tidak mudah pudar adalah jangan dulu mencucinya setelah melakukan pewarnaan. Berapa lama? Menurut Discover Good Nutrition, selama yang Anda bisa. Tunggu sampai beberapa lama sampai zat pewarna dapat menempel sempurna pada rambut. Mencucinya, terlebih menggunakan air hangat bisa membuat warna rambut cepat pudar. 2. Pilih Shampo yang Tepat Pilihan shampoo yang tepat dapat membantu Anda mempertahankan warna rambut setelah pewarnaan bertahan agak lama. Pilihlah shampoo dan kondisioner yang bebas sulfat dan lembut. Hindari keramas yang terlalu sering. Untuk alternatifnya, Anda bisa menggunakan dry shampoo berbentuk spray. Shampoo tersebut juga dapat membantu menyerap minyak berlebih pada rambut dan membuat rambut tetap wangi. 3. Lindungi Rambut Anda dari Panas Mewarnai rambut dengan warna-warna cerah, akan percuma jika Anda tidak hati-hati dalam merawatnya. Termasuk melindunginya dari panas yang berasal dari alat pengering rambut, alat pengeriting, rol, atau setrika rambut. Untuk menjaga warna pada rambut, pastikan rambut terhidrasi sepanjang hari. Pastikan rambut Anda tidak kering. 4. Hindari Sinar Matahari dan Air Kolam Renang Dua hal ini, ternyata bisa merusak pewarnaan rambut yang sudah Anda lakukan. Klorin, zat kimia yang umum terkandung dalam air kolam, juga sinar matahari, bisa membuat warna rambut cepat pudar. Bila sulit menghindarinya, Anda bisa menggunakan pelindung UV khusus rambut, juga menggunakan pelembap untuk rambut secara rutin. 5. Jangan Lupakan Warna Rambut yang Anda Pilih Terdengar tidak penting, namun sebaliknya, Anda perlu mengetahui bahwa zat pewarna, yang bila diaplikasikan kepada rambut, memiliki ketahanan yang berbeda-beda. Rata-rata, warna akan bertahan selama masa pencucian 1 hingga 2 kali saja. Bila rambut Anda diwarnai secara semi permanen, warna rambut tersebut bisa bertahan sampai 12 kali pencucian, bahkan untuk semi permanent, bisa bertahan sampai 20 kali pencucian. Mewarnai rambut agar tampilan terlihat lebih segar dan berbeda, sungguh pilihan. Tapi, jangan lupakan juga untuk merawatnya. Selamat mencoba! DokterSehat © 2023 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi
agar zat pewarna alam tidak pudar